Minggu, 22 Mei 2011

Sejarah Pendirian Rumah Sakit Jiwa di Indonesia

SEBELUM 1945

Dasar pendirian Rumah Sakit Jiwa di Indonesia adalah keputusan Kerajaan (Koninklijk besluit) tanggal 30 Desember 1865 No. 100. Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) tgl 14 Mei 1867 dibangun Rumah Sakit Jiwa (doorgangshuizen), dan pembangunan dilaksanakan pada tahun 1876 di Bogor (Rumah Sakit Jiwa pertama dan diresmikan tanggal 1 Juli 1882 dengan kapasitas 400 tempat tidur. Selanjutnya tahun 1902 diresmikan RSJ Lawang, tahun 1919 RSJ Solo, tahun 1923 RSJ Magelang, tahun 1924 RSJ Jakarta, tahun 1929 RSJ Semarang dan RSJ Surabaya, tahun 1923 RSJ Ujung Pandang dan Palembang kemudian tahun berikutnya RSJ Padang, Lubuk Pakam, Banjarmasin, Manado, tahun 1933 Bangli, tahun 1927 RS Tentara di Sabang dimanfaatkan untuk RS Jiwa dengan kapasitas 1200, tahun 1939 RS Jiwa Sei Bangkong Pontianak. Sampai dengan tahun 1940 ada 16 RS Jiwa dengan kapasitas 10.000 tempat tidur.

Dasar hukumnya adalah Het Reglement op het Krankzinnigenwezen (Stbl 1897 No. 54 dengan segala perubahan dan penambahannya), pelayanan masih bersifat teitutup ("custodial care") semacam penjara.

Pengawasan tertinggi urusan penyakit jiwa dilaksanakan oleh "Kepala Dinas Kesehatan" (Hoofd Van den Dienst der Volksgezondheid) dengan perintah dari Direktur Pendidikan dan Kebudayaan (Directeur van Onderwijs en Eeredienst).

Selama Perang dunia II (selama penjajahan Jepang 1942-1945) Rumah-Rumah Sakit Jiwa tidak terurus dan pasien banyak yang meninggal. Di Bogor pada tahun 1944 dari pasien yang dikeluar sebanyak 1556 orang pasien, yang meninggal 1307 orang dan RS Jiwa karena pemboman di Sabang, Glugur.

TAHUN 1945 S/D 1968

Dengan diproklamasikan Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, mulailah penderita penyakit jiwa lebih diperhatikan, akan tetapi sayang belum dapat dilaksanakan dengan baik, oleh karena revolusi fisik. Pada awal 1947 barulah dimulai membentuk Jawatan Urusan Penyakit Jiwa yang dipimpin oleh Dr.Latumeten, akan tetapi Jawatan ini juga belum dapat membangun secara intensif. Setelah Aksi Militer Belanda mereda Menteri Kesehatan (Dr J. Leimena) bulan Oktober 1947 di Yogyakarta menunjuk Dr. Marzuki Mahdi untuk membangun Jawatan ini, namun dengan adanya Aksi Militer Belanda ke II Desember 1948, kegiatan yang sedang dikembangkan melemah dan menjadi kacau.

Perkembangan Organisasi Direktorat Kesehatan Jiwa dari 1945 sampai sekarang berturut-turut sebagai berikut :
• Tahun 1947 -1951 adalah Jawatan Urusan Penyakit Jiwa
• Tahun 1951 - 1995 menjadi Jawatan Rumah-Rumah Sakit Jiwa
• Tahun 1955 - 1959 menjadi Jawatan Urusan Penyakit Jiwa
• Tahun 1960 - 1966 menjadi Bagian Kesehatan Jiwa dan
• Tahun 1966 - 2000 menjadi Direktorat Kesehatan Jiwa.
• Tahun 2000-2006 menjadi Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat
• Tahun 2006-sekarang menjadi Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa 

Pimpinan dari Jawatan Urusan Penyakit Jiwa sampai menjadi Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa adalah sebagai berikut:
• Awal tahun 1947 s/d Oktober 1947 Dr Latumeten
• Tahun 1947 -1958 Dr. Marzuki Mahdi berkedudukan di Bogor
• Tahun 1958-1971 Dr. Salekan berkedudukan di Jakarta
• Tahun 1971-1986 Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro, SpKJ
• Tahun 1986-1991 Dr. Pranowo Sosrokusumo, SpKJ
• Tahun 1991-1997 Dr. S O Gardjito, SpKJ.
• Tahun 1997-1999 Dr. Achmad Hardiman, SpKJ. MARS
• Tahun 1999-2004 Dr. Yusmansayah Idris, SpKJ
• Tahun 2004-2005 Dr. Yulizar Darwis, SpKJ.MM
• Tahun 2005-2006 Dr. G. Pandu Setiawan, SpKJ
• Tahun 2006 -2008 Dr. Yulizar Darwis, SpKJ. MM
• Tahun 2008- 2010 Dr. M. Aminullah, SpKJ. MM
• Tahun 2010 sekarang Dr. Irmansyah, SpKJ (K) 


Dengan terbentuknya Negara RIS bulan Januari 1950 Jawatan Rumah Sakit Jiwa menerima warisan yang ditinggalkan oleh Pemerintah Federal dalam keadaan yang jauh dari sempurna. Jumlah Rumah Sakit Jiwa pada waktu itu 20 (Bogor, Magelang, Lawang, Solo, Jakarta, Manado, Pematang Siantar, Makasar, Bandung, Sawahlunto, Baturaja, Mentok, Singkawang, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Yogyakarta, Bangli dan Semblimbingan/P. Laut) dengan kapasitas 5.320 tempat tidur.

Dari tahun 1951 s/d 1968 ada 3 Koloni Orang Sakit Jiwa (KOSJ) yang dibangun yaitu tahun 1952 KOSJ Klaten, tahun 1953 Petengahan, Tamban, sedangkan RSJ Semblimbingan (P.Laut Kalimantan Selatan) ditutup, dipindahkan dan direhabilitasi. Pada tahun 1968 Rumah Sakit Jiwa ada :
• 3 Rumah Sakit Jiwa Pusat (RSJP) Bogor, Lawang dan Magelang,
• 14 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Jakarta, Bandung, Cimahi, Semarang, Solo, Ujung Pandang, Manado, Medan, Padang, Palembang, Pakem (Yogyakarta), Surabaya, Selebung, Abepura
• 6 Rumah Perawatan Sakit Jiwa (RPSJ) Pontianak, Banjamarmasin, Samarinda, Mentok, Kutaraja dan Bangli
• 4 Koloni Orang Sakit Jiwa Tamban, Singkawang, Wedi, dan Kubu 

Semua berjumlah 22 RSJ Pusat milik Dep Kes dengan kapasitas tempat tidur 6,503 dan 5 RSJ Daerah milik Pemda dengan 302 tempat tidur . Total tempat tidur dari 27 RSJ 6.805
Dalam Repelita III (1979 - 1984) Pemerintah membangun 8 RSJ baru (Palu, Kendari, Bengkulu, Jambi, Pekanbaru, Ambon, Mataram dan Bandar Lampung), serta translokasi 3 RSJ (Semarang, Banjarmasin dan Surakarta), Sehingga pada akhir tahun 1984 Rumah Sakit Jiwa di Indonesia berjumlah 35 buah (34 RSJ dan satu RSKO). 

Penyeragaman Organisasi Rumah Sakit Jiwa dilaksanakan sejak tahun 1978 yaitu dengan diberlakukannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.135/Men.Kes/SK/IV/78 tanggal 28 April 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja dimana Rumah Sakit Jiwa digolongkan menjadi 3 Kelas, yaitu Kelas A, B, C. Sebelum ada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.135/Men.Kes/SK/IV/78 tanggal 28 April 1978 ini Rumah-Rumah Sakit Jiwa terdiri dari Rumah Sakit Jiwa, Rumah Perawatan Sakit Jiwa dan Koloni Orang Sakit Jiwa. Khusus 
Untuk Rumah Sakit Jiwa Ketergantungan Obat susunan organisasi diaturdalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 138/Men.Kes/SK/IV/78 tanggal 28 April 1978.
Setelah otonomi daerah tahun 2000 sebagian besar RSJ yang sebelumnya milik Pemerintah Pusat diserahkan kepada Daerah. Saat ini Pemerintah Pusat hanya memiliki 4 RSJ dan 1 RSKO. 
Setelah otonomi daerah RSJ Dr. Ansari Saleh Banjarmasin beralih fungsi menjadi RSU dan RSJ di Prov Jawa Barat semula ada di Cimahi dan Bandung pada tahun 2009 yang lalu i merger menadi RS Khusus Provinsi Jawa Barat. Total saat ini jumlah RSJ di Indonesia saat ini adalah 32 buah yang tersebar di 25 Provinsi. Sementara delapan provinsi (Banten, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur ). 
Saat ini sedang ada pembangunan RSJ Kupang – NTT namun terbengkalai sejak dua tahun ini karena tidak tersedia dana. Sementara pelayanan kesehatan jiwa di NTT tersedia di RSU Prof Dr. Johannes Kupang dengan jumlah tenaga Psikiater sebanyak 3 orang. Provinsi Kalaimantan Tengah walau tidak memiliki RSJ tetapi sudah memiliki Balai Kesehatan Jiwa Masyarakat 

Pada tahun 2006 Keputusan Meneteri Kesehatan No 1045 /Menkes / .PER/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Dilingkungan Depkes, sementara untuk RS daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah No 41 tahun 2007 tentang oragnisasi perangkat daerah. 
Saat empat RSJ vertikal yaitu RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta, RS Marzuki Mahdi Bogor, RSJ Prof Soeroyo Magelang dan RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat serta RS Ketergantungan Obat Jakarta telah menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

Tidak ada komentar: